#Hijabyangnyamandihati


Sebagai seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri, mau tidak mau, saya harus menghadapi dan menjalani yang namanya program KUKERTA alias Kuliah Kerja Nyata. Jujur, ketika tiba giliran saya, saya berada pada kondisi antara siap dan tidak siap menjalani program kampus yang satu ini. Kenapa? Karena saya khawatir tentang “bagaimana nasib saya” nantinya ketika di lokasi.
Kelompok kukerta saya saat itu berjumlah 12 orang, termasuk saya. Terdiri dari 4 laki-laki, dan 8 orang perempuan. Dua diantaranya non muslim, satu laki-laki dan satunya perempuan. Perjalanan ke lokasi kurang lebih menempuh waktu sekitar tujuh sampai delapan jam dari Pekanbaru, Riau. Dengan kondisi, kami semua akan tinggal satu atap di rumah salah seorang warga yang sudah lama kosong. Rumah tersebut tidak memiliki kamar mandi, jadi jika ingin mandi dan sebagainya, kami harus turun ke sungai yang ada di belakang posko, atau mandi di toilet mesjid yang ada di seberang posko, dan dengan segala macam keterbatasan lainnya.

Sudah terbayang di pikiran saya bagaimana “ribetnya” urusan saya nantinya. Harus selalu berpakaian lengkap dengan kaos kaki walau hanya di dalam rumah. Harus tetap berjilbab ketika beraktivitas di sungai (sekali pun untuk mandi), atau akan selalu terlambat mengikuti kegiatan karena harus mengenakan hijab terlebih dahulu beserta teman-temannya. Belum lagi mendengar komentar teman-teman lainnya tentang atribut yang saya kenakan ini.
Tapi benarlah, bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya..
Alhamdulillah..
Saya tidak menemui kesulitan yang berarti untuk beradaptasi dengan teman-teman lainnya, dengan komitmen yang sudah saya pegang sejak awal. Benar bahwa saya hampir tetap berhijab selama 24 jam, walau ketika tidur sekali pun. Benar bahwa saya harus tetap menggunakan hijab ketika hendak mandi di sungai apabila air di toilet mesjid depan posko sedang tidak ada. Bagaimana saya melakukannya? Ya... begitulah. :D
Ribet? Saya akui, iya. Tapi, ternyata saya masih bisa selalu ontime mengikuti program yang sudah kami sepakati, meskipun dengan atribut yang saya sebutkan tadi. Hehe... :D
Mengapa jadi seperti begitu mudah?
Karena saya percaya bahwa Allah menolong saya dengan menghadirkan teman-teman satu kelompok yang begitu menghargai anggota lainnya. Mereka tidak pernah komplain dengan saya yang selalu mengenakan kaos kaki, walau saya tahu di belakang saya mereka tetap melakukan pembicaraan rahasia. Mereka tidak pernah mencela, bahkan mereka pun turut menjaga agar saya tetap pada apa yang menjadi pegangan saya.
Pengalaman yang paling membuat saya merasa sangat terjaga dengan hijab ini adalah ketika suatu sore, saya dan semua anggota perempuan, sedang menikmati waktu senggang di dapur posko kesayangan. Di tengah perbincangan, datanglah keempat anggota cowok yang baru selesai mandi dari sungai. Sebelum mereka memasuki dapur dan melewati kami, salah seorang anggota cowok berseru, “Rani, tutup matanya... kami mau lewat..”
Sontak saja, saya langsung memalingkan muka dan menutup mata sesuai instruksi sang ketua. Tak lama berselang dari instruksi itu diucapkan, seorang anggota perempuan pun menyahut, “Kok Rani saja yang di suruh tutup mata?”
Saya termangu waktu itu. 
Singkatnya, anggota cowok tadi berusaha untuk menjaga saya dari memandang sesuatu yang tidak boleh saya pandang, yaitu aurat mereka. Hal itu ia lakukan karena menghargai saya sebagai seorang yang selalu menjaga diri sendiri, terkait dengan hijab itu sendiri. Lalu kenapa hanya saya yang diminta untuk memalingkan pandangan dari mereka? Karena, diantara keenam anggota perempuan lainnya (dikurang satu yang non muslim, dan dikurangi saya), mereka menilai hanya saya yang konsisten dengan hijab yang saya kenakan. (Hal ini mereka utarakan ketika kami membuat forum –tentang keluh kesah dan curahan hati selama di posko- beberapa hari sebelum KUKERTA berakhir)
Ke enam anggota perempuan lainnya memang berjilbab, tapi terjebak pada fenomena jilboobs. Pun ketika di posko, mereka justru melepas jilbabnya, berpakaian seolah hanya ada anggota perempuan di posko itu. Itulah sebabnya, kenapa anggota laki-laki pun turut menjaga saya.  Saya tak bermaksud berbangga diri. Saya hanya ingin berbagi pengalaman, bahwa ketika kita berusaha menghargai diri kita, menjaga diri kita, diniatkan karena Allah ta’ala, maka Allah akan mengirimkan orang-orang yang juga akan menjaga kita.
Itu adalah pengalaman yang paling berkesan bagi saya untuk tetap konsisten berhijab syar’i selama melaksanakan program KUKERTA (dan tentu saja seterusnya). Jika dimulai sejak berhijab hingga kini, tentu banyak sekali pengalaman-pengalaman unik dan menarik lainnya yang ingin diceritakan. Tapi kalau ditulis semua, yang ada bisa-bisa jadi sebuah novel :D
Bagi saya, benar adanya bahwa hijab adalah pelindung. Hijab adalah tabir atau penghalang, agar si pengguna hijab, terjaga dari hal-hal yang akan merugikan dirinya sendiri. Saya pun lebih nyaman dengan hijab syar’i yang sederhana. Baju longgar disertai khimar lebar segi empat yang menutupi dada. Lebih nyaman di badan dan di hati, tentu saja.
Pasca KUKERTA, penampilan saya berubah. Sebelumnya, style hijab saya adalah padu padan antara khimar, baju longgar dan ditambahkan rok. Namun, beberapa bulan sebelum Kukerta, hati saya terusik oleh keinginan untuk bergamis. Awalnya saya tidak PD menggunakan gamis, karena betuk badan yang padat berisi. Tapi, setelah hampir satu tahun menjabat sebagai Bupati Mahasiwa Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara (HIMAGARA), berat badan saya turun hampir 10 Kg. Jadilah, saya yang semula berpipi tembem, sekarang sudah sangat tirus. Hehe..
Sebelum berangkat KUKERTA, saya sudah prepare beberapa buah gamis. Niat banget setelah kukerta mau merubah penampilan. Dan, Taraaaaaaa... jadilah saya yang seperti ini. Gadis manis bergamis. Hehe #Narsis
Perubahan penampilan saya membuat seorang adik bertanya langsung ke saya. Siang itu di mushala kampus, ia mendatangi saya dan bertanya, “Kakak kenapa kok sekarang bergamis?”
Ternyata pertanyaan itu adalah pertanyaan yang ada di benak junior-junior saya di kampus dan dititipkan ke adik ini untuk langsung ditanyakan kepada saya.
Sebenarnya, agak sulit bagi saya untuk menjelaskan. Karena keinginan merubah penampilan itu muncul karena saya sudah merasa tidak nyaman dengan cara berpakaian saya sebelumnya. Mungkin dikarenakan, setahun belakangan saat itu saya lebih banyak beriteraksi dengan laki-laki (akibat status saya sebagai Bupati Mahasiswa). Kondisi saat itu memang membuat saya lebih banyak berada di zona tidak aman. Karena pembauran itu lah yang membuat saya merasa “kok mereka sudah tidak segan lagi terhadap saya.”
Hal itu membuat saya merenung, apa yang harus saya lakukan? Tiba-tiba, teringat kata salah seorang teman laki-laki, bahwa dia “takut” kalau melihat perempuan memakai baju gamis lebar dan jilbab lebar-lebar. Akhirnya, terpikirlah untuk memakai gamis dan jilbab yang lebih dijulurkan lagi.
Benar atau tidak alur pikir saya ini, yang jelas, saya sudah merasa sangat nyaman dengan hijab yang saya kenakan kini. Bagi saya, hijab yang nyaman di hati adalah hijab yang mampu menjadi alarm pengingat untuk saya, bahwa saya sudah berhijab! Konsekuensinya, saya tidak hanya menghijabkan badan saya, tapi harus meghijabkan keseluruhan dari diri saya, dari perkara-perkara yang membuat Allah tidak suka.
Akhirnya, Bismillah.. saya perbaiki lagi hijab saya. (Sile berkunjung ke sini .. Me and my transformation)
Sungguh, hijab ini bukan tanda bahwa saya sudah “baik”. Tapi, hijab ini adalah pintu gerbang saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Kadang sedih, mendapati justifikasi dari orang-orang sekitar yang membanding-bandingkan antara hijab yang saya kenakan dengan tingkah polah saya yang mereka anggap tidak berbanding lurus dengan hijab yang saya kenakan ini.
Padahal mereka tidak mengetahui bagaimana pahit getirnya saya berusaha mempertahankan hati ini agar istiqomah untuk berhijab. Mereka tidak mengetahui proses yang saya alami hingga sampai pada titik ini. Bukan mudah. Bukan main payahnya.
Dan lagi, Allah tunjukkan kuasa-Nya.
Tak lama setelah proses memperbaiki hijab tersebut, Allah mengirimkan kepada saya, seseorang yang semakin menguatkan saya dalam berhijab. Ya.. dia, yang kini jadi kekasih hati. Ibarat sebuah jawaban atas doa saya selama ini. Meminta dikirimkan pangeran penentram hati. 
Monggo mampir ke sini :) Kisah Ta'arufku
Jadilah kini, saya sudah tidak gadis manis bergamis lagi. Tapi mahmud abas -mamah muda anak baru satu- manis yang bergamis. Hehe...
Inilah cerita saya tetang #Hijabyangnyamandihati. Semoga bisa memberikan inspirasi bagi yang berkenan membacanya. Bahwa berhijab, bukan pertanda bahwa kita sudah bertaqwa, tapi pintu gerbang menjadi hamba yang dapat dicntai-Nya. Tak perduli dengan apa yang dikatakan mereka. Toh, kita berhijab bukan karena dia, dia atau mereka. Tapi, Lillahi ta’ala.
Percayalah bahwa hijab yang baik, tidak hanya akan menjaga kita dari mata-mata nakal dan tangan-tagan jahil di luar sana. Tapi juga akan menyelamatkan kita dari panasnya neraka. Aamiin Yaa Robbal’alamiin..
#SemangatBerhijab

Tulisan ini diikutsertakan pada Giveaway  #hijabnyamandihati


2 Responses to "#Hijabyangnyamandihati"

  1. mudah2an selalu di jaga Allah ya mba... terimakasih sudah berpartisipasi...
    nanti kalo sudah punya 2 anak jadi mahmud abad ya...hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi.. maap ya mbak baru balas komen :D
      Heeh... kalo udah dua ga mahmud abas lagi.. ^^

      Hapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel